Jakarta, Kompas
Prasasti koleksi Museum Adam Malik Jakarta, ikut memperkuat
dugaan adanya kesinambungan Kerajaan Pasundan dengan Kerajaan
Mataram Hindu di Jawa Tengah. Bahkan bila dikaitkan dengan temuan -
temuan prasasti di Jawa Barat termasuk temuan tahun 90-an, prasasti
ini ikut memberi titik terang sejarah klasik di Tanah Pasundan yang
selama ini masih gelap.
Kepala Bidang Arkeologi Klasik pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (Puslit Arkenas) Dr Endang Sri Hadiati didampingi peneliti
arkeologi spesialis Sunda, Richadiana Kartakusuma SU, mengemukakan
itu saat ditemui Kompas di ruang kerjanya di Jakarta, Senin (20/2).
Keduanya ditemui dalam kaitan dengan Sejarah Klasik Sunda yang
selama ini masih gelap, bila dibanding dengan sejarah klasik di Jawa
Tengah, yang telah mampu memberikan sejarah lebih runtut.
Bila benar dugaan adanya kesinambungan antara Raja Sunda dan
Jawa Tengah ini, maka ini merupakan asumsi sejarah baru dalam perkembangan
sejarah nasional selama ini. Endang Sri Hadiati menyatakan,
kesinambungan atau adanya dugaan hubungan antara Kerajaan Pasundan
dan kerajaan di Jawa Tengah itu disebut-sebut dalam lontar Carita
Parahiyangan yang ditemukan Ciamis, Jawa Barat.
Lontar yang ditemukan tahun 1962 ini mengisahkan tentang
raja-raja Tanah Galuh Jawa Barat. Salah satu lontar dari Carita
Parahiyangan yang belum diketahui angka tahunnya itu di antaranya
menyebut nama Sanjaya sebagai pencetus generasi baru yang dikenal
dengan Dewa Raja.
Apa yang disebut dalam Carita Parahiyangan, menurut Richadiana,
ada kesamaan makna dengan prasasti yang ditemukan di Gunung Wukir,
yang berada di antara daerah Sleman dan Magelang (Jawa Tengah).
Prasasti batu abad VII yang kemudian disebut sebagai Prasasti
Canggal itu secara jelas menyebut, bahwa di wilayah itu telah
berdiri wangsa atau kerajaan baru dengan Sanjaya nama rajanya, atau
dikenal kemudian sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
"Saya belum berani memastikan adanya kesinambungan Raja Sunda
dan Jawa. Yang pasti, Carita Parihiyangan yang berisi tentang cerita
raja-raja Galuh itu, salah satunya menyebut nama Sanjaya yang
membuat kerajaan baru, dan itu sama persis yang disebutkan dalam
prasasti Canggal di Jawa Tengah," tegas Richadiana.
Menurut Richadiana, dugaan itu diperkuat pula dengan prasasti
yang dikoleksi oleh Adam Malik (almarhum), yang dikenal dengan
prasasti Sragen (ditemukan di Sragen Jateng). Richadiana tidak tahu
persis kapan prasasti itu dikoleksi Adam Malik. Yang pasti, prasasti
itu isinya juga bisa menjadi fakta adanya dugaan kesinambungan
antara Kerajaan Pasundan dan Jawa.

Dua abad hilang
Endang Sri Hadiati dan Richadiana mengakui, sejarah Pasundan
memang masih gelap, artinya belum mempunyai alur sejarah yang
mendekati pasti.
"Tonggak sejarah klasik Jawa Barat hanya pada 6 buah prasasti
Raja Tarumanegara sekitar abad V. Temuan prasati lain tidak
mendukung adanya kelanjutan sejarah, karena selisih waktunya
berabad-abad," tandasnya.
Namun begitu, jika dicermati dan dikaitkan dengan temuan tahun
90-an ini, sebenarnya hanya rentang waktu dua abad saja sejarah
Klasik Sunda yang hilang, bila dihitung sejak Raja Tarumanegara,
yaitu antara abad ke V - VII.
Richadiana mengatakan, setelah abad Raja Tarumanegara V sampai
abad ke VII memang tidak ditemukan prasasti. Namun lontar Carita
Parahiyangan mengisahkan adanya kehidupan raja-raja di Tanah Galuh
pada abad VII, disusul kemudian adanya temuan prasasti abad VIII
Juru Pangambat. Prasasti ini ditemukan di seputar prasasti
Tarumanegara, yang mengisahkan tentang adanya seorang pejabat tinggi
yang bernama Rakai Juru Pangambat.
Menurut Richadiana, prasasti Huludayueh yang ditemukan di
Cirebon tahun 1990 mengisahkan bahwa antara abad 10 sampai 12 hidup
seorang Raja bernama Pakuan. Sebelum itu ditemukan prasasti di
Tasikmalaya yang dikenal dengan prasasti Rumatak. Prasasti berangka
tahun 1.030 ini mengisahkan bahwa pada masa itu hidup seorang Raja
Jaya Bupati.
"Sebenarnya kalau kita runut prasasti-prasasti itu sudah
mengindikasikan adanya urutan sejarah klasik Sunda. Tidak ada
peminat yang mempelajari sejarah klasik orang Sunda, selain orang
Sunda sendiri. Itu yang menyebabkan sejarah Sunda seperti merana,"
tegasnya. (top)


KOMPAS, Selasa, 21-02-1995. Hal. 16
PUSAT INFORMASI KOMPAS
Palmerah Selatan 26-28
JAKARTA 10270

Comments (0)